MPIMEDIA.NET - Peringatan
Hari Santri tahun ini diwarnai peristiwa yang menggegerkan publik. Di Garut,
dalam upacara peringatan hari santri, terjadi insiden pembakaran bendera
bertuliskan kalimat tauhid, oleh oknum anggota Barisan Ansor Serbaguna
(Banser). Tak berjeda lama, video pembakaran bendera itupun viral. Media sosial
mendadak ribut dengan pro-kontra pembakaran bendera, yang diklaim oleh pelaku,
sebagai bendera HTI.
Gambar: mpimedia.net
Berbagai
pihak mengeluarkan pernyataan sikapnya terkait kasus ini. GP Ansor, sebagai
induk organisasi dari Banser, mengklaim bahwa bendera yang dibakar oleh oknum
kadernya adalah bendera HTI. Berbeda dengan GP Ansor, MUI menyatakan bahwa
bendera yang dibakar bukanlah bendera HTI, tetapi bendera kalimat tauhid.
Anasir
Umat Islam lainnya tak tinggal diam. Di Solo, umat Islam menggelar long
march dengan membawa bendera tauhid. Di kota-kota lain pun bersusulan
mengadakan acara serupa, sebagai pembelaan terhadap bendera tauhid.
Berbagai
analisis muncul, di antaranya adalah analisis yang menyalahkan HTI karena
menggunakan bendera universal milik umat Islam sebagai bendera organisasi. Ya,
sampai detik ini, HTI masih sangat berguna sebagai “kambing hitam” untuk
berbagai persoalan.
HTI
sebagai organisasi sudah dibubarkan oleh pemerintah melalui keputusan Kemenkumham.
Sebagaimana yang kita ketahui, HTI dalam semua narasi dakwahnya mengerucutkan
solusi dari semua masalah, yaitu khilafah. Mirip jargon iklan sebuah minuman.
Sampai di sini, mari kita jujur-jujuran saja, apa atau siapa yang ditakuti? HTI
atau khilafah?
Salah
satu sebab dari dibubarkannya HTI adalah paham khilafah yang bertentangan
dengan pancasila, anti-NKRI. Sebagai ajaran Islam, bukan hanya ajaran HTI,
khilafah memang berbenturan secara langsung dengan paham nation-state(negara-bangsa).
Makanya, keduanya akan saling menegasikan, saling mengalahkan.
Kita
yang lahir dan hidup dalam ruang lingkup Indonesia sebagai negara-bangsa,
mungkin masih kesulitan untuk mendeskripsikan apa dan bagaimana sistem khilafah
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Terdengar utopis memang, apalagi kita
berada di tengah-tengah umat Islam yang awam dan masih resisten terhadap ajaran
khilafah.
Saya
jadi teringat cerita dari seorang kawan. Suatu hari, seorang kawan dai
bercerita tentang kesulitan temannya sesama dai dalam menyampaikan materi
tentang khilafah.
“Ini
berat sekali, akhi,” keluh temannya, sambil menguraikan masalahnya,
“Mendakwahkan khilafah itu sekarang menyimpan potensi bahaya. Kita bisa dituduh
HTI, radikal. Bahkan kita bisa diciduk oleh Polisi, karena mengajarkan paham
yang berpotensi mengancam NKRI.”
“Akhi,”
teman saya mulai menasehati, berlagak sok bijak, “Bukankah memang jalan para
nabi itu penuh onak dan duri? Kalau hanya ceramah tematik, datang menunggu
undangan berbicara, dengan tema haha-hihi, pulang dapat amplop, siapa lagi yang
mau menyampaikan tema-tema berat ini, menempuh jalan terjal ini?”
Khilafah
‘ala minhajin nubuwwah, sebagaimana
disebutkan dalam hadits nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, akan tegak
kembali di akhir zaman, sebagai fase terakhir bagi umat Islam. Kita, sebagai
orang Islam yang mengaku diri sebagai pengikut nabi, wajib mengimani hal ini,
sebagai konsekuensi atas keimanan kita pada Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa
sallam.
Tak
salah memang. Berat sekali membayangkan bagaimana caranya khilafah akan tegak
di masa depan. Bahkan membayangkannya pun sangat sulit. Bagaimana tidak,
melihat kondisi umat Islam hari ini, mungkin baru sebagian kecil yang sudah
paham tentang khilafah.
Banyaknya
narasi yang mendelegitimasi ajaran khilafah juga bak jamur di musim hujan.
Kebanyakan narasi tersebut berfokus pada tataran praktis penegakan kekuasaan
yang dijalankan oleh para khalifah, seperti kesewenangan sultan, sisi pribadi
sultan yang memiliki banyak selir, atau konflik sipil.
Bukan
hanya dari kalangan orientalis Barat, seseorang dengan julukan Gus, yang
menjadi dosen di Australia itu, adalah salah satu ahlinya. Ahli mencari sisi
buruk khalifah, dari urusan perang, hingga urusan ranjang. Seolah dia pura-pura
lupa, bahwa ajaran khilafah dan praktek khilafah adalah dua hal yang berbeda.
Ya,
hari ini mungkin kita belum tahu bagaimana sistem negara-bangsa ini akan
runtuh, dan berganti dengan sistem khilafah. Sebagaimana dulu sebelum tahun
1900, orang-orang Yahudi belum tahu bagaimana cara meruntuhkan Khilafah
Utsmaniyah, lalu mendirikan negara Israel dan memecah belah tanah kaum
muslimin.
Keimanan
terhadap janji Rasulullah shallallahu ‘Alaihi wa sallam akan
tegaknya khilafah harus kita pegang erat. Untuk urusan ini, mari kita tengok
orang-orang Yahudi. “Janji Tuhan” yang mereka percayai tentang “tanah yang
dijanjikan” telah menuntun jalan, menyiapkan diri, dan memanfaatkan momentum
untuk mewujudkan Israel Raya.
Mempersiapkan
umat adalah hal yang bisa dilakukan untuk saat ini. Allah-lah yang akan
mengaturnya, mendatangkan momentum, yang seringkali tanpa kita duga sebelumnya.
Tugas berat masih terlihat jelas, bagi para dai, ulama, dan aktivis Islam
untuk memberi pencerahan pada umat tentang ajaran khilafah. Bisa jadi,
ini adalah momentumnya.
(Sumber: Kiblat.net)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar